Pendidikan di Barak Militer, “Amankah”?
Pascasarjana IAIN Pontianak, 22 Mei 2025. Diskusi Dosen sesi ke-5 kembali digelar dengan tema yang menggelitik: “Menyoal Barak Militer untuk Anak Bermasalah”. Kegiatan ini dibuka oleh moderator Dr. Syahbudi, M.Ag, yang memantik diskusi dengan mengangkat isu tentang kategori anak yang susah diatur dan pentingnya memandang mereka bukan sekadar sebagai subjek bermasalah, tetapi individu yang perlu dipahami secara lebih mendalam.
Narasumber utama, Prof. Dr. Edi Kurnanto, M.Pd, menjelaskan bahwa kategori “anak nakal” lahir dari ketidakmampuan anak dalam menghadapi situasi yang dihadapinya. Ia mengidentifikasi beberapa penyebab utama kenakalan anak, antara lain rendahnya motivasi diri, pengaruh pergaulan yang salah, serta kondisi BLAST (Bored, Lonely, Angry, Stressed, Tired). “Kenakalan anak memiliki bentuk yang beragam dan penyebabnya pun tidak bisa digeneralisasi,” ungkap Prof. Edi. Ia juga menyoroti pentingnya memberikan ruang bagi anak untuk mengambil keputusan sendiri agar mereka mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya.
Tanggapan datang dari berbagai dosen lintas bidang. Dr. Firdaus Ahmad, M.Hum, menyatakan bahwa kenakalan adalah bagian dari proses naturalisasi kemanusiaan. Ia mengapresiasi langkah Kang Dedi Mulyadi sebagai bentuk reaksi bijaksana terhadap fenomena sosial, namun menekankan pentingnya peran orang tua, kepemudaan, dan pemerintah dalam menanggulangi masalah kenakalan remaja.
Dr. Nelly Mujahidah menyoroti bahwa upaya penyelamatan anak tidak cukup hanya dengan mengambil alih atau mengisolasi mereka. Menurutnya, program Kang Dedi perlu dilengkapi dengan pendekatan edukatif dan keterlibatan keluarga.
Sementara itu, Dr. Muhammad Yusuf Hidayat, M.Pd, mengaitkan isu ini dengan nilai-nilai dalam Al-Qur’an, khususnya dalam Surah Luqman. Ia menekankan pentingnya peran ibu dalam pengawasan anak dari segala sisi kehidupan.
Kritik datang dari Dr. Syamsul Kurniawan, M.S.I, yang menilai bahwa pendekatan barak militer yang digunakan Kang Dedi cenderung sebagai strategi branding dan belum berbasis pada riset ilmiah. Ia mempertanyakan mengapa pendekatan militer harus menjadi pilihan utama dan menyoroti faktor ekonomi sebagai penyebab mendasar kenakalan anak.
Dr. Hesti Nurahmi turut menambahkan bahwa pendekatan militer harus dievaluasi dampaknya terlebih dahulu. Ia merujuk pada istilah “laras” yang digunakan KPAI dan menekankan bahwa kurangnya perhatian dari orang tua dan lemahnya pengawasan sekolah turut berkontribusi terhadap kenakalan anak. Ia juga mengusulkan perlunya bimbingan pranikah dan keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam mendampingi perkembangan anak.
Diskusi berlangsung dinamis dan menggambarkan kompleksitas persoalan kenakalan anak yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan instan atau hukuman fisik. Semua pihak sepakat bahwa solusi yang tepat haruslah menyeluruh, melibatkan keluarga, sekolah, pemerintah, dan pendekatan berbasis nilai.

